Soppeng, Majalah Pro.Com --- Keterlibatan perempuan dalam politik dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan. Salah satu indikatornya adalah tren peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif- terutama sejak pemilihan umum (Pemilu) 1999 hingga Pemilu terakhir pada 2009. Pada Pemilu 1999 (9%), Pemilu 2004 (11,8%), dan Pemilu 2009 (18%).
Belum lama ini Wartawan Majalah Pro.Com, mencoba berbincang santai bersama politisi Partai Demokrat Soppeng Haeruddin Tahang terpilih selama tiga periode berikut pendapatnya. Peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik, terutama dalam Pemilu, tersebut tidak terjadi secara serta merta, namun karena perjuangan yang terus menerus untuk mewujudkan hak setiap orang untuk mencapai persamaan dan keadilan. salah satunya adalah dengan mewujudkan peraturan perundang-undangan yang memiliki keberpihakan dan afirmatif terhadap peningkatan keterwakilan perempuan.
Indonesia telah lama mengesahkan Undang-Undang (UU) No. 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan. Di dalamnya, mengatur mengenai Perwujudan Kesamaan Kedudukan (non diskriminasi), jaminan persamaan hak memilih dan dipilih, jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan, kesempatan menempati posisi jabatan birokrasi, dan jaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik. Namun, peningkatan keterwakilan perempuan terjadi setelah berlakunya perubahan UndaangUndang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu pasal 28 H ayat (2 ) yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. ujarnya.
Lanjut Haeruddin mengatakan. Ketentuan UUD 1945 tersebut menjadi landasan yang kuat bagi semua golongan warga negara untuk bebas dari diskriminasi sistematik dan struktural dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pada aspek politik. Karena itu, UU paket politik yang digunakan sebagai landasan pelaksanaan Pemilu 2004 maupun Pemilu sampai sekarang ini mengakomodasi norma-norma hukum yang bertujuan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di legislatif.
Kebijakan afirmasi (affirmative action) terhadap perempuan dalam bidang politik setelah berlakunya perubahan UUD 1945 dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Peningkatan keterwakilan perempuan berusaha dilakukan dengan cara memberikan ketentuan agar partai politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di dalam mengajukan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan: „‟Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.‟
‟ Dari waktu ke waktu, affirmative action terhadap perempuan dalam bidang politik semakin disempurnakan. Hal itu dapat ditelaah ketika DPR menyusun RUU Paket Politik yang digunakan dalam pelaksanaan Pemilu 2009, yaitu UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. ujar Haeruddin lagislator Partai Demokrat DPRD Soppeng.
Haeruddin menambahkan, Pada kelembagaan partai politikpun, affirmatic action dilakukan dengan mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam penidirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mengatur syarat pendirian Partai Politik, pada Pasal 2 menyatakan: „‟Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan‟‟. Pada ayat sebelumnya dinyatakan bahwa: ‟‟Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris‟‟.Punkasnya. (RH/Redaksi)